Sabtu, 07 Januari 2017

Bangunan Arsitektur Berkelanjutan - Bangunan Ramah Lingkungan - Kota Berwawasan Lingkungan (Tugas Arsitektur dan Lingkungan)

I.                   Bangunan Arsitektur Berkelanjutan

A.                 Rumah Botol Ridwan Kamil ( Bandung, Indonesia)

1.                  Konsep Material

              Terletak di kota berhawa sejuk, Bandung, Indonesia, arsitek yang akrab disapa dengan sebutan Emil ini membangun rumahnya dari 30,000 botol kaca bekas minuman energi. Emil memilih botol minuman berenergi merk terkenal ini karena menurutnya botol minuman ini tidak dikumpulkan kembali oleh si pemilik industri untuk diisi ulang, seperti yang biasanya dilakukan oleh minuman ringan kemasan botol yang banyak beredar di pasaran. Emil mengumpulkan puluhan ribu botol kaca bekas itu selama 2 tahun! Ini menunjukkan komitmennya yang sangat tinggi terhadap konsep rancangan dan idenya untuk sekaligus mengurangi sampah di kotanya.
Selain memadupadankan rancangan rumah botolnya dengan kayu, Emil juga menggabungkan susunan botol dengan glass block di beberapa bagian. Guna meminimalkan penggunaan cat di bagian luar bangunan, sang arsitek juga membiarkan beberapa bagian beton terekspos dan menampilkan warna natural betonnya. Aksentuasi kontras diperoleh dari penggunaan furnitur dan elemen interior lainnya di bagian dalam rumah.

2.                  Kontruksi

           Proses pengerjaan konstruksi rumah tersebut harus tertunda selama 6 bulan karena Ridwan Kamil berupaya mengumpulkan lebih banyak botol (yang pada akhirnya berjumlah 30.000 buah) untuk dipasang. Botol-botol kaca bekas tersebut ditata dengan apik ke dalam berbagai bentukan bingkai yang terbuat dari besi, ada bingkai yang berukuran kecil dan ada yang besar, tergantung kepada peletakan dan fungsinya terhadap ruang di dekatnya. Hasilnya yaitu sebuah tampilan rumah dengan nuansa warna coklat (warna botol kaca) yang terkesan natural. Beliau membangun rumah botol ini secara bertahap, blok demi blok, disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Yang menarik, beliau sama sekali tidak menuangkan idenya ke dalam gambar rancangan. Semua mengalir begitu saja mengikuti feel. Pelaksanaan konstruksinya semua berdasarkan instruksi lisan saja.












II.                 Bangunan Ramah Lingkungan

A.                 ACROS Fukuoka Prefectural International Hall, Jepang

1.                  Bahan Material

Acros Fukuoka dibangun setelah gedung kantor pemerintah prefektur Fukuoka sebagai gaya masa depan sebuah kompleks komersial di Maret 1993. Pendirian komersial dan fasilitas budaya seperti gedung simfoni yang rapi dan kompak dibangunan ini. Di sisi jalan utama, bangunan ini dirancang dengan gaya gedung perkantoran seperti biasa dengan menggunakan dinding berlapis kaca.  Di sisi lain, sisi utara bangunan mengadopsi gaya taman bertingkat. Dengan tampilan demikian bangunan ini didirikan dengan menggabungkan konsep dan gaya desain yang berbeda dalam satu bangunan.

Diseberang bangunan menghadap ke jalan keuangan yang paling penting dari Fukuoka. Terdiri dari kaca bergaris, dengan setiap lantai miring untuk memantulkan orang yang lewat di bawah. Fasad vertikal dengan setiap lantai lebih tinggi bertingkat-tingkat, menciptakan efek tenda di atas trotoar. Atap menjorok memberikan kesan pelindung untuk pejalan kaki  yang sebenarnya menggunakan desain badan bangunan sendiri. Lapisan tingkat akhir di atas menciptakan efek dari 45 besar ° cornice overhang di tepi jalan, menentukan pintu masuk publik sekaligus meningkatkan kesan bangunan perkotaan pada bangunan.

2.                  Sistem Perencanaan

Tujuan pembangunan ACROS Fukuoka adalah memberikan dukungan dalam meningkatkan pelayanan sebagai pusat pertukaran internasional, budaya dan informasi, untuk mempromosikan jaringan pertukaran budaya dan informasi, sekaligus untuk mempromosikan budaya di Prefektur Fukuoka, untuk memberikan informasi tentang budaya dan memfasilitasi pertukaran, dan dengan demikian memberikan kontribusi baik kemajuan budaya bagi warga Fukuoka dan vitalisasi masyarakat setempat.


Desain untuk ACROS Fukuoka mengusulkan solusi baru yang kuat untuk masalah perkotaan yang umum: 
mendamaikan keinginan pengembang untuk penggunaan menguntungkan penggunaan lahan secara komersil dengan kebutuhan masyarakat untuk ruang terbuka hijau. Rancangan Fukuoka memenuhi baik kebutuhan dalam satu struktur dengan menciptakan model agro-perkotaan yang inovatif.

Wajah utara yang menyajikan fasad perkotaan elegan dengan pintu masuk formal yang layak untuk sebuah bangunan di jalan paling bergengsi di distrik keuangan Fukuoka.

Lahan yang digunakan adalah yang terakhir berkembang di pusat Fukuoka. Gedung ini memilih untuk mengembangkan lahan dalam usaha bersama dengan perusahaan swasta.  Sebagian ruang bangunan akan dikhususkan untuk operasi umum dan kota. Dalam proposal, para pengembang berlomba-lomba berusaha untuk memaksimalkan potensi pendapatan. Di sisi lain, arsitek prihatin tentang dampak pembangunan pada berdekatan Tenjin Central Park-satunya hijau ruang terbuka di bagian kota. Untuk semaksimal mungkin, arsitek ingin memberikan kembali kepada warga Fukuoka seluruh tanah bangunan untuk mengurangi dampak buruk pembangunan. Ambasz yang memegang proyek ini berhasil mencapai rekonsiliasi antara dua keinginan yang berlawanan: menggandakan ukuran taman sambil memberikan kota Fukuoka dengan simbol struktur yang kuat di pusatnya.

Sisi selatan Hall meluas sebuah taman yang ada melalui seri taman bertingkat yang mendaki tinggi penuh bangunan, yang berpuncak pada koridor megah yang menawarkan pemandangan pelabuhan kota.

Sepanjang tepi taman, bangunan meningkat ke atas, lantai demi lantai, dalam tingkat rendah, teras taman. Setiap lantai teras berisi kebun untuk meditasi, relaksasi, dan refreshing diri dari kemacetan kota, sedangkan teras menjadi grand belvedere, memberikan pandangan yang tak tertandingi dari Teluk Fukuoka dan pegunungan sekitar. Serangkaian tangga kaca memantulkan kolam pada teras dihubungkan oleh penyemprotan jet air, untuk membuat tangga seperti air terjun untuk menutupi suara kebisingan kota di luar. Kolam ini terletak langsung di atas atrium kaca dalam pusat gedung, membawa cahaya menyebar ke dalam melalui kaca clerestory yang memisahkan kolam renang.






III.              Arsitektur Berwawasan Lingkungan

Ekologi arsitektur adalah keselarasan antara bangunan dengan alam sekitarnya, mulai dari Atmosfer, biosfer, Lithosfer serta komunitas. Unsur-unsur ini berjalan harmonis menghasilkan kenyaman, kemanan, keindahan serta ketertarikan. Eko arsitektur telah lama diterapkan di Eropa, Amerika dan Asia tentunya, dimulai dengan perencanaan resort, villa, lodge, dan taman yang bertujuan sebagai tempat peristirahatan, rekreasi, camping ground,atau lainnya, sementara nilai – nilai ekologi adalah kewajiban yang dibawa ke dalamnya. Namun, setelah semakain banyak timbulnya bencana, nilai-nilai ekologi diterapkan kembali sebagai suatu prioritas.
Eko berasal dari kata ekologi yang artinya adalah lingkungan (lingkungan yang terpelihara mulai dari Atmosfer, Biosfer, dan Lithosper), sedangkan Arsitektur adalah, suatu bentuk atau masa, atau juga tata ruang yang terencana secara fungsional yang direncanakan oleh arsitek serta disiplin ilmu lain yang terlibat di dalamnya, maka Eko Arisitektur adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tidak hanya bentuk masa bangunan, material, tata ruang ataupun nilai kearifan lokal yang ada, namun juga kepedulian kita sendiri terhadap bangunan tersebut, bagaimana kita mengartikan fungsi dari pada bangunan tersebut,bagaimana kita mengelolanya, dan bagaimana kita merawatnya.
Eko Arsitektur berfungsi sebagai sarana edukasi serta analisis untuk mewujudkan fasilitas fisik berwawasan lingkungan, dengan dilakukannya perencanaan secara Eko Arsitektur, maka akan terwujudkan keselarasan antara fasilitas fisik dengan Lingkungan.
(Sumber WIkipedia)

A.                 Jepang

1.                  Ciri-ciri dan Konsep Jepang Berwawasan LIingkungan

Sebagai salah satu negara di Asia, Jepang termasuk dalam kategori negara yang sangat produktif dalam memproduksi sampah hal ini karena Jepang yang termasuk dalam kategori negara dengan populasi sangat padat dan kebanyakan kegiatan industri serta populasinya terpusat di kota, dikatakan mempunyai rata-rata sampah padat perkotaan yang tinggi. Konsekuensinya adalah Jepang tengah menghadapi berbagai persoalan lingkungan yang menekan, seperti kekurangan lahan untuk penimbunan sampah, dan ancaman kehabisan sumber daya alam untuk masa yang akan datang. Semua persoalan ini dinilai dapat menghambat pertumbuhan ekonomi Jepang. Jika dikaji lebih dalam hal ini sepaham dengan Smith bahwa  sumber daya alam yang tersedia merupakan wadah yang paling mendasar dari kegiatan produksi suatu masyarakat. Jumlah sumber daya yang tersedia merupakan batas maksimum bagi pertumbuhan suatu perekonomian. Maksudnya jika sumber daya ini belum digunakan sepenuhnya, maka jumlah penduduk dan stok modal yang ada yang memegang peranan dalam pertumbuhan output. Tetapi pertumbuhan output tersebut akan berhenti jika semua sumber daya alam tersebut telah digunakan secara penuh.

Untuk dapat mempertahankan pembangunan negara di masa depan, maka pemerintah Jepang berusaha memfokuskan perhatiannya pada persoalan sampah. Sejak pertengahan abad ke-19, di Jepang, seiring dengan laju modernisasi konsentrasi populasi khususnya daerah perkotaan berkembang pesat sehingga kesehatan masyarakat menjadi masalah serius, dan penguburan sampah mulai dibatasi, di sisi lain pembakaran sampah mulai dianjurkan. Kemudian, pada tahun 1900 dibentuklah undang-undang pembuangan sampah, yang menjadikan tugas pengolahan sampah sebagai tanggung jawab pemerintah, sehingga sejak itu dimulailah era pembakaran.

Jepang boleh dibilang memiliki sistem daur ulang terbaik di dunia. Hal ini karena undang-undang Home Appliance disahkan untuk mendorong warganya dan bisnis untuk secara aktif berpartisipasi dalam daur ulang. Di Jepang 50% dari semua limbah padat didaur ulang, sebaliknya, AS hanya mendaur ulang 30%. Undang-undang tersebut mengharuskan pelanggan membayar biaya daur ulang saat membuang peralatan rumah, bahwa pengecer mengambil kembali peralatan dibuang dan mengantarkan produk ke produsen, bagi yang memproduksi memiliki proses daur ulang yang efektif untuk item tersebut. Dalam banyak situasi hukum ini mendorong perusahaan untuk membuat produk mereka lebih didaur ulang. Undang-undang mengharuskan bahwa setidaknya 55% dari setiap televisi dibuang harus didaur ulang. Dengan hukum memberikan insentif hukum dalam kombinasi dengan manfaat biaya untuk menggunakan bahan daur ulang.






Norman Andi Lestara
25315094
2TB03